MENGAPA ALLAH MENGGUNAKAN ISTILAH "KAMI" DALAM AL-QURAN? Bukankah Allah itu Esa?
Artikel ini menganalisis fenomena ini dari perspektif teologis, linguistik, dan budaya. Dengan melibatkan pandangan para ulama dan ahli bahasa.
Pemakaian kata "kami" merupakan penggunaan kata ganti orang pertama jamak/plural dalam pronomina persona, sedangkan dalam bahasa Arab, kata ganti orang disebut dhamir.
Baik dalam bahasa Indonesia, Arab, Inggris, bahkan mayoritas budaya di dunia mengerti bahwa kata "kami" selalu merujuk kepada individu dalam jumlah banyak dan bukan penyebutan individu seorang saja seperti kata "saya" atau "aku".
Dalam Al-Quran, Allah senantiasa merujuk kepada diri-Nya dengan pronomina persona pertama jamak dengan kata "kami". Secara harfiah, penggunaan kata "kami" yang merujuk kepada Allah ini akan memberi pemahaman bahwa esensi Allah terdiri dari lebih dari satu. Akan tetapi hal ini seakan berbenturan dengan konsep teologis dasar yang sama-sama ditegakkan dalam Al-Quran mengenai keesaan mutlak Allah.
Pada pandangan pertama, kasus ini muncul sebagai paradoks saling melawan antara konsep teologis yang terbangun dan fenomena kebahasaan yang terdapat dalam Al-Quran. Oleh karena itu, muncul beberapa asumsi, termasuk dugaan terhadap kesalahan dalam wahyu Al-Quran, atau mungkin esensi Allah memang plural. Setidaknya, salah satu dari dua pilihan ini harus dikorbankan.
Namun, jika kita menelusuri lebih mendalam, dua aspek yang terlihat bertentangan ini bukanlah hal yang tidak dapat disandingkan dan diintegrasikan secara harmonis tanpa perlu mengorbankan salah satunya.
Tentu saja, fenomena ini tidak boleh dipahami secara harfiah. Salah satu pendekatan yang dapat diambil adalah dengan memahami struktur tata bahasa Arab yang digunakan dalam Al-Quran.
Para ulama mengerti bahwa kata "kami" dalam bahasa Arab tidak selalu menunjukkan kata ganti orang pertama jamak. Namun, kadang-kadang juga dapat merujuk kepada individu tunggal dengan tujuan penghormatan (li ta'dzim) terhadap individu yang sedang berbicara.
Ini terlihat dalam penjelasan para ulama mengenai Surat Al-Baqarah ayat 34 yang berbunyi:
وَاِذۡ قُلۡنَا لِلۡمَلٰٓٮِٕكَةِ اسۡجُدُوۡا لِاٰدَمَ
'Dan ingat ketika Kami mengatakan kepada para malaikat, "Sujudlah kepada Adam"'.
Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya Al-Jami' li Ahkamil Qur'an menjelaskan; "Kata 'قُلۡنَا -Kami mengatakan', bukan 'Aku mengatakan' digunakan karena Allah menyampaikan diri-Nya dengan kata jamak atau plural sebagai bentuk penghormatan dan pengagungan diri,"[1].
Hal yang serupa dijelaskan oleh Wahbah Az-Zuhaily dalam kitab tafsirnya At-Tafsirul Munir fil Aqidah was Syari'ah wal Manhaj saat menafsirkan ayat yang sama. Beliau mengatakan; Kata 'Ketika Kami mengatakan' digunakan dengan kata jamak atau plural sebagai bentuk ta'dzim[2].
Ibn Taimiyah dalam kitabnya Ar-Risalah Tadmuriyah juga menjelaskan hal yang serupa saat mentafsirkan Quran surah Al-Fath ayat 1. Beliau menjelaskan; Dan Allah tidak pernah menyebut diri-Nya dengan kata yang mengandung makna ganda, sama sekali. Karena bentuk jamak memberikan makna penghormatan (ta'dzim), yang Dia berhak untuk memilikinya. Dan terkadang menunjukkan makna-makna dari nama-Nya. Sementara kata yang mengandung makna ganda, kata itu menunjukkan jumlah tertentu, dan Allah Maha Suci dari pembatasan jumlah ini[3].
Oleh karena itu, dari sini kita dapat memahami bahwa bentuk kata ganti jamak dalam kasus seperti ini merujuk kepada individu yang tunggal atau singular, dengan maksud untuk menonjolkan kebesaran atau keagungan yang dimiliki oleh individu tersebut (li ta'dzim). Dalam hal ini, yang dimaksud adalah Allah. Oleh karena itu, fenomena ini dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah jamak li ta'dzim, dan juga dikenal secara umum sebagai bentuk jamak keagungan (jamak keagungan -Allah) atau disebut juga "kami kerajaan".
Bentukan jamak keagungan ini juga ditemukan dalam kitab Taurat kaum Yahudi, bahkan muncul di awal kitab mereka dalam Baresyit 1:1 yang berbunyi:
בראשית ברא אלהים את השמים ואת הארץ
artinya: Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.
Kata אלהים (eloh'im -Allah) dalam bahasa Ibrani adalah bentukan jamak/plural maskulin dari kata eloh dengan penambahan sufiks 'im. Oleh karena itu, secara harfiah, Allah dalam Taurat disebut dalam bentuk jamak. Tentu saja hal ini menimbulkan kontradiksi terhadap doktrin teologi dasar Yahudi yang sangat menekankan nilai keesaan Allah secara mutlak.
Oleh karena itu, para pemuka agama Yahudi memahami fenomena ini sebagai bentukan jamak keagungan, di mana penggunaan jamak terhadap subjek yang singular bertujuan untuk mengagungkan.
Hal ini juga ditegaskan oleh Ravi Saadia Gaon yang kemudian pendapatnya dikutip oleh Ravi Ibn Ezra.
Menurut Saadia Gaon, bentuk jamak dalam Taurat (terutama dalam Baresyit) tidak mengindikasikan pluralitas dalam Sang Pencipta tetapi lebih menekankan keagungan dengan cara yang khas dalam bahasa Ibrani. Bahkan saat Taurat mengatakan "mari kita ciptakan", ekspresi ini sama sekali tidak bermakna jamak atau plural[4].
Wilhelm Gesenius dalam bukunya Gesenius’ Hebrew Grammar halaman 399 memandang kata Elohim ini sebagai bentukan jamak keagungan. Alasannya adalah, setiap kata Elohim yang jamak selalu ditemani oleh kata yang tunggal. Oleh karena itu, meskipun kata elohim ini terlihat jamak, hakikatnya adalah tunggal ketika yang dimaksud adalah Allah bangsa Israel[5].
Perlu diingat bahwa kata elohim dalam Alkitab tidak selalu merujuk kepada Allah, tetapi juga dapat merujuk kepada malaikat atau hakim, dan tentunya dengan pemahaman yang berbeda.
Pandangan ini berbeda dalam Kekristenan, banyak teolog Kristen seperti Agustinus dari Hippo melihat bentukan Elohim ini sebagai dukungan bagi tafsiran mereka yang mempertahankan doktrin Tritunggal dalam ajaran Kekristenan[6].
Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa dasar pandangan model Agustinus dari Hippo ini membuat para misionaris yakin bahwa kata "kami" yang digunakan oleh Allah dalam Al-Quran merupakan bukti dukungan atas doktrin Tritunggal mereka. Namun, fakta membuktikan sebaliknya.
Setidaknya, dapat dipahami bahwa pandangan Yahudi dan Islam tidak berbeda dalam hal jamak keagungan yang diberikan kepada Allah dalam kedua kitab tersebut. Keduanya memahami bahwa saat Allah menyebut diri-Nya dengan kata jamak, bukan berarti bahwa Dia memiliki banyak pribadi, tetapi lebih untuk menegaskan keagungannya.
Selain dalam ranah teologis, bentukan bahasa semacam ini juga muncul dalam budaya Eropa, baik dalam konteks sosial maupun politik.
Di Barat, konsep ini dikenal sebagai "The Royal We" atau juga disebut pluralis majestatis. Hal ini dijelaskan dan dapat dibaca lebih lanjut dalam buku "Personal Pronouns in Present-Day English" oleh Katie Wales[7].
Dijelaskan bahwa Royal We, di mana kata "kami" yang merujuk kepada "saya" biasanya digunakan oleh individu yang memiliki posisi tinggi seperti raja atau penguasa lainnya. Sebagai contoh, dalam manifesto yang mengonfirmasi pengunduran diri Constantine Pavlovich, Kaisar Alexander I memulai suratnya dengan kalimat: "dengan rahmat Allah, Kami, Alexander I, Kaisar dan Otokrat semua Rusia..."[8]. Di sini, kata "kami" digunakan untuk menggantikan "saya" yang merujuk kepada Aleksander I.
Para Paus Katolik dalam sejarah sering menggunakan kata "kami" untuk merujuk kepada diri individu dalam setiap pidatonya. Contohnya seperti yang digunakan dalam Notre charge apostolique, Mit brennender Sorge, dan Non abbiamo bisogno[9].
Bentuk praktik lain yang menggunakan konsep semacam ini dalam bahasa Arab adalah dalam ucapan salam. Umumnya, orang akan mengucapkan "assalamualaikum" kepada seseorang, padahal objek yang dimaksud adalah kata ganti orang pertama jamak dengan dhamir "antum", yaitu "kalian".
Alasannya adalah bahwa ini adalah bentuk penghormatan yang ditujukan kepada lawan bicara. Begitu juga, terkadang orang Arab dapat merujuk kepada diri mereka sendiri dengan kata "kami" daripada "saya", ini dilakukan sebagai bentuk sopan santun.
Hal ini juga terjadi saat pejabat pemerintah memberikan pidato, umumnya menggunakan kata "kami" saat merujuk kepada diri mereka sendiri dan ini sudah umum dalam kehidupan sehari-hari.
Kesimpulannya, penggunaan kata "kami" kepada Allah dalam Al-Quran adalah bentuk penghormatan terhadap keagungan-Nya yang mahakuasa, dikenal sebagai jamak keagungan atau jamak li ta'dzim dalam bahasa Arab, dan bukanlah rujukan kepada banyak pribadi Allah.
______________
[1] Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Qurthubi, Al-Jami' li Ahkamil Qur'an, (Mu’assasatur Risalah, 2006) vol.I, hlm. 433
[2] Wahabah Az-Zuhaily, Tafsir Al-Munir fil Aqidah was Syari'ah wal Manhaj (Dar Fikr, 2009) vol.1, hlm. 143
[3] Ibn Taimiyyah, Al-Risalah Al-Tadmuriyah (Maktabah Al-Sunnah Al-Muhammadiyah, 2010), hlm. 27
[4] Matthew Oseka, History of The Jewish Interpretation of Genesis 1:26, 3:5, 3:22 in The Middle Ages, Jurnal Scriptura, Voll. 117, 2018, hlm. 12
[5] Wilhelm Gesenius, Gesenius’ Hebrew Grammar (Oxford: 1910), hlm. 399
[6] https://www.newadvent.org/fathers/1301.htm
[7] Baca: Katie Wales, Personal Pronouns in Present-Day English (Cambridge, 1996) hlm. 63-68
[8] http://www.imperialhouse.ru/en/dynastyhistory/dinzak3/1097.html
[9] https://en.wikipedia.org/wiki/Royal_we
Join the conversation